Pages

Senin, 01 Februari 2010

SECANGKIR VANILA LATTE


Kutuang air panas di cangkir. Kopi, gula dan air bersatu, mereka menggumpal membentuk komposisi yang aneh, tapi tetap indah. Aku terus memandangi cangkir itu, sampai terdengar suara langkah di belakangku.

“May,” suara Dude, “lagi apa?”

Aku menoleh dan tersenyum.

“Bikin kopi,” jawabku pendek.

Dude melangkah mendekat dan duduk menyebelahiku. Ia menghela nafas, kemudian mengikuti pandanganku.

“Kamu mikirin apa sih?” “Nggak ada.” “Kopi itu menyimpan seseorang kan?” Aku tak segera menjawab, sampai akhirnya Dude berkata lagi, “Seraut wajah yang tersenyum…!!”

Aku menoleh.

“Dud, please. Jangan ingatkan aku padanya.”

“Tapi setiap hari membuat kopi itu, sama saja mengenang Alan kan? Apa bedanya? Semuanya sama. Puisimu, kopi itu, dan tulisan-tulisanmu. Semua hanya punya satu makna, hanya Alan. Ya kan, May?”

Aku mengangkat bahu. Dari dulu aku ingin sekali jadi gadis yang tegar, yang tidak peduli sekalipun orang jahat padaku, tak menangis meski ditinggalkan orang yang aku cintai, tak peduli meski aku disakiti, tapi ketidakpedulianku pada Alan malah bermakna beda. Aku tak peduli meski dia pergi tanpa pesan. Ia tetap orang yang aku sayangi, sampai saat ini.

***

“Wah, Enaknya…!! ini kopi apa Lan, Cappuccino ya?” tanyaku takjub, seraya terus menyeruput secangkir kopi hangat yang ada dimeja.

Alan menggeleng.

“Bukan, itu Vanilla Latte.”

“Lukisan ini Vanilla Latte juga”

“Iya:

“Masak bisa sebagus ini sih,” ujarku sambil menyentuh kanvas dengan ujung jariku.
Alan hanya tersenyum.

“Lan, ini boleh buatku nggak?” ujarku meliriknya.

Tapi Alan menggeleng.

“Nggak boleh. Ini lukisan spesial. Lukisan ini cuma buat orang yang aku sayangi.” Ia tersenyum.

Aku mencibir, kesal.

“Emang kamu nggak sayang sama aku?”

“Yeee… Nggak! Kamu kan udah tua.”

“Iiiih!!! Alan bodoh!”

Aku berlari mengejarnya mengelilingi rumah, sampai di halaman yang penuh bunga matahari. Alan tertawa. Dan aku tetap tak berhasil mengejarnya.

“Sampai kapanpun kamu nggak akan bisa ngejar aku, May!” teriaknya dari kejauhan.

“Nggak akan bisa.”

Aku tertegun.

***

“Cakep nggak, May?” tanya Dude sambil memperlihatkan foto dalam HPnya.

“Dia anak sastra lho, cocok kan sama kamu, kalian nanti bisa ngobrol banyak soal buku.”

Foto seorang cowok mirip Yoo Seung Ho. Sangat manis, benar-benar tidak seperti anak sastra kebanyakan. Aku hanya mengangkat bahuku lalu meninggalkan Dude di depan komputer.

“May.” Dude menarik lenganku, memintaku kembali.

“Aku mau bikin kopi,” jawabku sambil tersenyum masam. “Besok, jangan lagi kasih aku foto cowok.”

Dude menghela nafas kemudian mengikutiku menuju dapur.

“Biar kamu nggak nunggu Alan terus.”

“Aku merasa nyaman nunggu dia, Dud. Nyaman sekali. Dan aku bahagia.” “Bohong,” timpal Dude. “Nggak ada orang yang bahagia menunggu orang yang pergi nggak tahu kemana. Orang yang bahkan nggak sadar kalo orang yang menunggunya adalah orang yang sangat mencintainya.”

“Kapan aku pernah bilang cinta sama dia? Aku nggak pernah cinta sama Alan. Dia cuma sahabatku, Dud.”

“Kenapa sih, kamu selalu bohong?”

Dude meninggalkanku di depan jendela kamarku. Jendela di mana aku biasa menghabiskan secangkir Vanilla Latte yang pernah dilukis oleh Alan. Entah dimana lukisan itu sekarang. Tapi kalau memang lukisan itu telah ia berikan pada cewek yang paling ia cintai, aku akan berusaha merasa bahagia. Aku menoleh dan mendapati sosok Dude yang menjauh.

***

“Kamu suka Vanila Latte ya, Lan?” Alan menggaguk.

“Kenapa, Lan.”

“Vanila Latte mengingatkanku pada orang yang aku cintai”

“Siapa Lan”

“Suatu saat nanti kamu akan tahu siapa dia”

Aku mengangguk kesal. Alan adalah calon pelukis hebat, menurutku. Lukisannya benar-benar bagus dan hidup. Termasuk lukisan secangkir Vanilla Latte itu. Dan sejak pertama kali melihat lukisan itu, aku jadi sangat menyukai Vanilla Latte. Karena cuma dengan menikmati Vanilla Latte aku selalu merasa bersama dengan Alan.

“Kamu nggak kerja?”

“Sudah pulang,” jawabku. Dan aku melihat Alan menggulung lukisan Vanila Latte yang sudah lumayan lama terpajang di dinding kamarnya itu.

“Mau diapakan?” tanyaku.

“Aku berikan ke seseorang.”

“Erm, siapa sih? Memangnya kamu punya pacar?”

“Ada deeeh.”

Aku terdiam. Alan selalu membuatku terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya. Pertanyaan yang kucipta sendiri dan tak kutemukan jawabannya. Dan sehari setelah pertemuan itu, Alan menghilang.

***

“Misalnya suatu hari, Alan sms kamu, kamu gimana?”

“Memang kenapa?” tanyaku balik.

Dude menggeleng.

“Ya nggak apa-apa. Siapa tahu nanti dia balik ke kosnya.”

Sekarang aku yang menggeleng.

“Nggak mungkin. Bahkan mungkin malah, Alan udah meninggal.”

“Hush!” Dude tersentak dan mencubitku. “Jangan sembarangan ngomong.”

Aku menghela nafas.

“Habis, dia hilang nggak tahu kemana. Aku, juga teman-teman kosnya, nggak ada yang tahu Alan pindah kemana. Sudah tujuh bulan, dan sama sekali aku nggak pernah melihatnya, nggak pernah terima sms atau teleponnya, bahkan sejak ia menghilang, nomor HPnya nggak bisa dihubungi.”

“Tapi kamu nggak beneran menganggap Alan udah meninggal kan, May?”

“Nggak. Aku menganggap Alan nggak butuh aku sebagai sahabat, karena dia pergi tanpa aku tahu kemana. Dan aku menganggap dia sudah bahagia dengan cewek yang menerima lukisan Vanilla Latte itu darinya.”

Dude menatapku iba.

“Kamu patah hati, May?”

“Nggak. Alan kan cuma sahabatku. Lagian, dia masih kecil.”

“Cowok yang lebih muda darimu, belum tentu nggak boleh kamu cintai, May. Dan jangan pura-pura bahagia, jangan terus menutupi perasaanmu. Kamu suka Alan, kan?”

“Nggak!” aku setengah berteriak. “Aku nggak pernah suka Alan!”

“Lalu buat apa kamu membuat Vanilla Latte setiap hari?”

Aku menangis.

***

“Kamu nggak pergi, May?”

“Nggak. Ya, ini kan udah pergi, sama kamu.” Aku tertawa.

“Pacarmu?”

“Nggak punya.”

“Cari dong, May” Tiba-tiba suara Alan berubah.

“Kenapa? Buat apa?” tanyaku balik dengan mimik penuh tanya.

“Aku nggak mau kamu sampai nggak punya pacar gara-gara aku.” Alan menunduk.

“Apanya? Kok kamu bilang gitu, Lan? Maksudnya apa?”

“Kita kemana-mana berdua, kayak orang pacaran aja, nanti nggak ada cowok yang berani deketin kamu lho.”

“Apa nggak sebaliknya?”

“Apa?”

“Kamu yang takut nggak bisa deketin cewek?” Alan tersenyum simpul.

“Aku…!! ada orang yang aku sukai.”

Pasti bukan aku, batinku. Dan hari itu, untuk pertama kalinya aku menangis setelah pertemuan kami.

***

“Makasih lo, May,” ujar Dude sembari belalu membawa setumpuk buku.

Aku hanya menjawab dengan senyuman, sambil terus membawakan baju-bajunya keluar. Hari ini Dude pindah. Aku tidak tahu alasannya karena dia tidak mengatakannya padaku. Yang jelas, aku merasa sangat kehilangan teman yang sudah menemaniku selama lima belas bulan.

“Kamu masih akan nengok aku kan, Dud?” tanyaku lagi saat kami berpapasan di depan pintu kosnya.

Dude tersenyum.

“Kenapa? Takut nggak punya teman minum Vanilla Latte?”

“Nggak ada lagi yang menguatkan dan meyakinkanku kalo Alan udah pergi.”

Sebuah buku jatuh dari tangan Dude yang tampak gemetar.

“Kamu pasti baik-baik saja, May. Kamu cewek yang tegar, lebih tegar dari siapapun yang aku kenal.”

Ah, ada yang aneh di mata itu. Sesuatu yang aku tak bisa menebaknya.

Kemudian Dude berlalu dari hadapanku dengan setumpuk buku lagi. Aku menghela nafas dan kembali membongkar lemarinya. Dan sebuah benda berupa dua gulungan kertas menghentikan gerakanku. Sebuah kekuatan aneh menggerakkan tanganku membuka gulungan itu. Sebuah lukisan yang sangat kukenal.

***

“Itu Vanilla Latte juga ya, Lan?”

“Yup.”

“Kok cuma setengah?”

Alan menghentikan goresannya di kanvas, menatapku.

“Kamu pernah ditinggalkan orang yang kamu cintai, May?”

“Hemmm…!!, iya.” Aku hanya menjawab bingung. Terus menatap lukisan setengah jadi itu. Lukisan secangkir Vanilla Latte yang tak terisi penuh.

“Dan kamu merasa, nggak ada yang bisa menggantikan orang itu, meski kamu tahu ada orang lain yang mencintaimu?”

“Ckck…! Kamu ngomong apa sih, Lan?”

“Kadang, kamu terlalu lama melihat dan menyesali cinta yang sudah meninggalkanmu, hingga kamu nggak bisa melihat cinta lain yang ada.”

Aku menggeleng.

“Lalu apa hubungannya dengan Setengah Vanilla Latte itu?”

“May, kamu bisa mencintai orang baru yang datang padamu, tapi nggak sebanyak cintamu pada orang yang sudah meninggalkanmu.”

Aku tahu maksudnya.

Aku tahu. Tapi aku tak tahu, siapa dua orang yang ia maksud itu. Aku terlalu takut menebaknya.

***

Dude datang tepat di saat aku menggulung kembali lukisan itu.

“Maafkan aku,” desisnya hampir menangis.

“Apa ini Dud,” jawabku, dengan senyum paksa.

“Kamu ingin aku menjelaskannya?”

“Iya Dud, please aku bingung dengan semua ini.”

“Alan adalah orang yang spesial, May. Tujuh bulan yang lalu, Alan bilang kalau dia mencintaiku. Dia memberikan sebuah lukisan Vanilla Latte kesukaanku sebagai tanda cintanya padaku”.

“Tapi kamu pernah bilang, kamu gak suka Vanilla Latte, Dud”

“Aku bohong May, Aku takut kamu akan tahu semuanya. Kamu tahu, aku dan Alan nggak mungkin bersatu. Aku laki-laki normal May, aku punya tunangan. Kalau aku nggak segera mengakhirinya, akan ada yang lebih terluka.”

“Kenapa kamu nggak pernah cerita, Dud? Kamu tahu gimana perasaanku sama Alan?” Aku menangis.

“Aku gak sanggup melihat kamu sedih May, Dengan kenyataan jika Alan adalah seorang….!!” Dude tak melanjutkan kata-katanya.

“Tapi sekarang hatiku tambah hancur, Dud” Aku menunduk dan mendapati airmataku menetes di lantai.

Kemudian Dude menarik tanganku dan menyerahkan sebuah lukisan yang tergulung itu.

“Maafin aku, May. Tujuh bulan lalu saat Alan pergi, dia memberikan lukisan kepadaku, sekaligus menitipkan satu lukisan ini untukmu. Aku nggak sanggup memberikannya padamu, karena takut kamu akan tahu rahasia Alan. Tapi sekarang, apapun yang terjadi, aku akan menerimanya. Termasuk kalau kamu jadi membenciku.” May menyusut airmatanya.

“Alan pergi karena nggak terima dengan penolakanku, dan juga menatap matamu yang diam-diam mencintainya. Dia mengatakan itu sebelum pergi.”

Dude meninggalkanku sebelum aku berkata apapun. Dadaku sakit. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju dapur, dan membuat secangkir Vanilla Latte. Kubuka gulungan lukisan pemberian Alan dengan senyum yang terpaksa. Di sana, kulihat secangkir Vanilla Latte yang tak terisi penuh. Sangat indah. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.

“Sampai kapanpun kamu nggak akan bisa ngejar aku, May!” teriak Alan dari kejauhan. “Nggak akan bisa.”

***

0 komentar:

Posting Komentar