Pages

Rabu, 09 September 2009

Ramadhan Terakhir Pak Abdullah


           Sore itu langit sedang berawan dan sang surya pun menyembunyikan wajahnya yang bulat diantara awan-awan yang berserakan diangkasa. Tampaknya hari itu dia tidak rela untuk meninggalkan hari yang begitu damai dan bersahaja. Angin bertiup lembut kearah barat seolah sedang menunjukkan jalan pulang pada mentari untuk segera menyelesaikan tugasnya. Hari itu adalah hari ketiga puluh puasa ramadhan. Seperti biasa pada hari itu para penghuni didaerah tempat tinggalku sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan berbuka puasa yang terakhir di tahun ini dan bersiap-siap menjelang hari raya idhul fitri yang begitu dinanti-nantikan.
Tetapi lain halnya dengan Pak Abdullah. Disaat orang-orang sedang Menyibukkan diri dengan urusannya masing-masing, beliau tampak khusyuk berdzikir diatas sajadah merah yang menghampar diatas lantai ruangan berukuran 4 x 4 m didalam rumahnya. Teringat olehnya hari-hari dimana dia merasakan sebuah karunia yang begitu besar, yang oleh kebanyakan orang dijadikan hal yang sangat menakutkan, yaitu puasa dan menahan lapar, tetapi buat pak Abdullah hal itu hanyalah salah satu dari rukun islam yang harus dijalankan dengan sabar dan hati yang iklash.
Jauh dari orang tua membuatku harus bisa hidup mandiri, harus bisa menata pengeluaran dengan baik dan harus bisa beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalku. Kali kedua merayakan hari raya dirantauan membuatku sudah terbiasa, banyak teman sering bertanya, apa aku tidak ingin pulang, apa aku tidak kangen sama keluarga, dan berbagai pertanyaan selalu ada ketika menjelang hari raya idul fitri. Semua orang pasti ingin merayakan hari raya bersama keluarga, begitu pula denganku, tapi ongkos mudik ke Propinsi yang dijuluki serambi mekkah itu tidaklah murah, kasian orangtuaku jika harus mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk aku mudik, sedangkan biaya kuliah di Malang juga tidaklah murah ditambah dengan biaya kehidupan seharai-hari yang tidak sedikit. Pak Abdullahlah tempatku bernaung ketika semua teman kosku mudik dan tinggal aku sendiri yang tersisa. Pak Abdullah sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri, beliau sering memberi nasihat dan wejangan kepadaku.
Pernah suatu malam setelah sholat terawih aku bersilahturahmi kerumah beliau. Seperti biasa dengan ditemani kopi hangat dan ketela goreng kami mengobrol, membahas tentang hal-hal yang sudah aku alami sehari-hari. “Sangat disayangkan budaya umat sekarang”, Pak Abdullah memulai percakapan. Bukankah dimimbar-mimbar sering diungkapkan kalau berpuasa itu menahan hawa nafsu, dimana kita harus mengendalikan diri kita untuk tidak makan, minum dan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa kita. Tetapi mengapa disaat waktu berbuka puasa tiba, semuanya dengan penuh gairah menyiapkan makanan, minuman, kolak, sirup dan lain-lainnya untuk disantap begitu adzan maghrib berkumandang. Padahal semua itu belum tentu bisa masuk ke perut kita. Dan kalau sudah begini dimana makna dari menahan hawa nafsu.
Aku mendengarkan dengan seksama semua yang diucapkan Pak Abdullah. Kata-katanya begitu mengena kedalam hati dan pikiranku. Selama ini memang ketika berbuka puasa aku selalu menyiapkan makan besar seolah-olah aku sedang membalas dendam pada makanan setelah seharian tidak makan dan minum sedikitpun. Tak jarang juga kalau setelah itu perutku akan terasa sakit sekali sampai tidak bisa bergerak karena kekenyangan. Aku sedih, ternyata aku belum berhasil memaknai arti dari puasa Ramadhan yang sesungguhnya, yang tidak hanya menahan makan dan minum. Ya Allah jangan jadikan Ramadhan ini adalah ramadhan terakhir untukku, agar aku bisa memberbaiki semua kekuranganku.
***
Menjelang maghrib dihari terakhir puasa ramadhan tahun ini aku kembali bersilaturahmi ke rumah Pak Abdullah. Tidak lupa aku bawa ketela goreng kesukaan beliau, Kebetulan hari itu istri beliau sedang ada di luar rumah,
“Assalamualaikum” aku mengucap salam.
“Wassalamualaikum” eh nak Zaenal, monggo nak masuk.
Aku masuk kedalam rumah Pak Abdullah, rumah yang sederhana tapi sangat menyejukkan hati, setelah aku duduk beliau langsung menuju ke tempat suaminya yang sedang berdzikir untuk memberitahukan kedatanganku. Setelah menunggunya beberapa lama akhirnya Pak Abdullah muncul juga dari balik gorden yang menutupi antara ruang tamu dengan ruang tengah.
Tak lupa kuucapkan Assalamualaikum dan “sungkem” padanya seperti aku sungkem pada kedua orang tuaku, karena dalam hatiku aku sudah menganggap orang tua ini sebagai orang tuaku sendiri. Dia membalas salamku sambil tersenyum. Memang Pak Abdullah begitu berwibawa diantara tutur kata dan perilakunya yang sholeh. Sayup-sayup adzan maghrib sudah terdengar dikejauhan. Tanda kalau hari ini kita sudah mencapai hari yang penuh kemenangan, hari yang penuh kebahagiaan, hari yang tak akan pernah kita dapat rasakan selain hari ini. Allahu akbar…! Allahu akbar…! Allahu akbar…! Allahu akbar…! Walillah ilham…!.
Setelah berbuka puasa dan sholat magrib, malam itu aku dan Pak Abdullah betakbir bersama, tak terasa air mata menetes di pipiku, teringat Bapak dan Ibu di rumah, ingin rasanya aku memeluk mereka dan meminta maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Sebagai orang tua apa yang diharapkan kecuali kesuksesan anaknya, dan itu belum bisa aku wujudkan. Aku kembali menata perasaanku, menguatkan hatiku, aku tidak boleh lemah, aku yakin suatu saat nanti senyum bangga mereka akan menghiasi kepulanganku.
“nak Zaenal..!” suara pak Abdullah membuyarkan lamunanku,
“iya Pak..!!” aku langsung menuju keruangan 4 x 4 m yang bisa digunakan beliau beribadah, entah kenapa ada yang lain dengan pak Abdullah malam itu, wajahnya begitu bersih dan bercahaya.
“nak Zaenal, gimana kuliahnya?”
“Alhamdulillah lancar”
Anakku, semoga Allah SWT memberi umur panjang kepadamu untuk taat kepada-Nya dan membimbingmu ke jalan orang-orang yang dicintaiNya. Jangan kau menyia-nyiakan waktu dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Apabila umur seseorang berlalu tetapi ia tidak menggunakanya untuk melakukan ibadah yang diperintahkan Allah, maka pantas baginya menyesal sepanjang masa. Aku hanya terdiam mendengar perkataan dari beliau, ada gejolak yang sangat besar di dadaku, teringat semua perbuatan yang aku lakukan masih jauh dari yang namanya memanfaatkan waktu dengan baik.
“nak Zaenal..!!” Pak Abdullah memegang tanganku dengan erat.
Bapak berdoa semoga setiap perkataan, perbuatan, dan apa saja yang kamu tinggalkan sesuai dengan hukum syara’. Ingat Jalan ibadah hanya dapat ditempuh dengan mendidik kehendak nafsu dan berjihad mengalahkan nafsu syahwat yang tak terkendali. Ini dapat kau lakukan hanya dengan riyadhah (shaum) dan ketajaman pedang pendidikan, bukan dengan tutur kata yang manis dan ajakan yang menarik perhatian. Ketahuilah anakku, lidah yang berucap dan hati yang tertutup oleh kelalaian dan nafsu yang rendah merupakan tanda-tanda kemalangan yang besar. Jika nafsu tidak kamu tundukkan dengan kesungguhan jihad, maka hatimu tidak akan bercahaya ma’rifat kepada Allah Swt. Aku menangis mendengar nasihat dari pak Abdullah, aku memeluk beliau dengan erat, aku merasa akan kehilangan beliau untuk waktu yang sangat lama.
Aku berjalan pulang dengan perasaan yang sangat bergejolak, masih teringat jelas kata-kata dari pak Abdullah yang begitu merasuk ke dalam dada, hari ini adalah hari dimana seluruh umat muslim di dunia merayakan hari kemenangan, tapi apa aku pantas untuk merayakan itu, kemenangan dari apa yang harus aku rayakan, amal ibadahku masih pas-pasan, aku juga belum bisa menahan hawa nafsuku sendiri. Ya Allah Pantaskah aku turut bersuka cita menyambut datangnya hari kemenangan ini.
***
Suara takbir menggema di seluruh masjid-masjid memanggil seluruh umat muslim untuk berkumpul. Aku pakai gamis putih dan peci dengan warna senada, tidak lupa minyak wangi aku semprotkan ke tubuhku. Aku tidak langsung menuju ke masjid, tapi mampir terlebih dahulu ke rumah pak Abdullah untuk menjemput beliau, aku berjalan dengan cepat tidak sabar ingin bertemu dengan Pak Abdullah. Sampai juga aku di depan rumah sederhana tapi begitu menyejukkan hati itu, aku bertanya pada diriku sendiri, ada apa gerangan rumah yang kecil dan biasanya sepi itu kini begitu ramai, aku melihat Bu Abdullah menangis di dalam rumah. Ya Allah aku tidak berani menebak apa yang terjadi di dalam rumah itu. Aku tak kuasa melangkahkan kakiku, aku belum siap menyaksikan apa yang terjadi di sana, tiba-tiba dadaku begitu sesak.
Aku terpaku tak berdaya, tulang-tulangku terasa lemas, hatiku perih, dan air mata tak kuasa aku bendung. Mataku tak kuasa melihat tubuh pak Abdullah yang terbujur kaku dan terbalut kain berwarna putih itu, matanya terpejam dan tubuhnya tidak bergerak lagi.
“Apa yang terjadi Bu?”
“Abah nak, Abah telah tiada” Bu Abdullah juga tak kuasa membendung air matanya.
Ya Allah kenapa begitu cepat engkau panggil Pak Abdullah, orang yang menjadi tempatku berkasih sayang, orang yang selalu memberi nasihat dan selalu menguatkantku ketika aku sedang down. Ya Allah, memang hanya engkau yang tahu umur hambamu, Ya Allah jadikankah Pak Abdullah sebagai kekasihmu dan masukkanlah beliau ke dalam surgamu.
Allahu akbar…! Allahu akbar…! Allahu akbar…! Allahu akbar…! Walillah ilham…! Suara takbir mengantarkan kepergian Pak Abdullah. Mungkin inilah kemenagan yang sejati, kemenangan yang tidak hanya di ukur dengan baju baru, dan kue-kue mewah. Tapi kemengan dimana ketika kita bisa bersanding dengan dzat yang maha pemurah lagi maha penyayang yakni ALLAH SWT.
***