Pages

Selasa, 16 Februari 2010

Satu Nama Saja

Matahari mulai tidur dan bulanpun berganti menjaga bumi, seperti malam-malam biasanya aku bersiap untuk berkerja, jika kebanyakan orang, malam adalah waktu mereka untuk istirahat mengembalikan tenaga yang terkuras untuk berkerja di siang hari, tapi buatku malam adalah nafas, tempatku mencari nafkah, dan tempatku menyadari betapa beratnya hidup ini. Aku siapkan baju yang paling spesial, karena malam ini aku akan bertemu dengan orang yang spesial juga, ya…! aku akan bertemu dengan mas John, pria yang selama 6 bulan terakir mengisi relung hatiku yang paling dalam.

Mas john memang pria yang sempurna. tampan, pintar, kaya dan berasal dari keluarga terhormat. Setiap wanita pasti akan tertegun melihat kegagahan tubuhnya, sungguh, dia adalah pria yang diidamkan semua wanita. Sudah hampir 6 bulan aku menjalin hubungan gelap dengan mas John. Pertemuan kita bermula di sebuah klub malam, aku menghampirinya ketika dia duduk sendiriaan, lalu kami mengobrol tentang apapun, dan semenjak saat itu hubungan kami berlanjut.

Aku selalu ada ketika mas john membutuhkan teman untuk bicara, aku selalu siap menjadi tempat sampah buat semua keluhannya, mas John sangat kesepian, dia butuh teman bicara, walaupun kehidupanya sempurna tapi aku bisa merasakan kesepian yang mendera hidupnya, mungkin, mas John adalah potret remaja ibukota yang kekurangan kasih sayang dari orang tuanya, meskipun dia mempunyai tunangan, tapi tunangannya selalu sibuk berkerja.

Akhirnya larilah dia ke klub malam untuk melepas kesepian, dan dalam pelukanku mas John merasakan ketenangan, dia mengakui aku enak di ajak bicara, tidak cerewet dan perhatian. Aku hanya tersenyum mendengar pujian dari mas john, aku tahu itu bukan rayuan, mas john orangnya sangat jujur, ketika pertama kita berkenalan dia berterus terang kalau sudah mempunyai tunangan dan akan segera menikah. Tapi aneh saja aku mendengar pujian dari mas john, karena belum pernah ada orang yang memujiku, kebanyakan orang menghinaku, mencemooh, dan menganggapku najis.

Sejak kecil hingga tumbuh dewasa hidupku jauh dari belaiaan kasih sayang orang tua, ayah lari dengan wanita lain ketika aku berumur 5 tahun, sejak kejadian itu, ibu juga jarang pulang kerumah, banyak selintingan, ibu menjadi seorang pelacur dan pergi bersama seorang pria ke negeri jiran, akupun menjadi yatim piatu ketika umurku menginjak 10 tahun, walaupun aku masih punya ayah dan ibu tapi mereka tidak pernah terdengar rimbanya. Neneklah tempatku berkasih sayang, tapi sayang nenek tidak lama bisa mendampinginku, ketika usiaku genap 15 tahun nenek dipanggil oleh yang maha kuasa.

Lengkap sudah penderitaanku, aku sudah tidak punya siapa-siapa, hidupku sebatang karang, aku tidak punya tempat berkasih sayang, ingin rasanya aku mengakiri hidup ini, tapi aku teringat pesan nenek, jika hidup butuh perjuangan, berjuanglah untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Kata-kata itu yang membuat aku menerima tawaran untuk mengadu nasib ke ibu kota menjadi seorang pembantu rumah tangga.

Tapi hidupku memang jauh dari kebahagian, walaupun kebahagiaan menjadi seorang pembantu. Ditempat aku berkerja aku diperlakukan seperti budak, majikanku adalah keturunan cina yang berkerja sebagai pedagang, setiap hari mereka menyiksaku, aku tidak berdaya untuk melawan mereka. hinaan, tamparan dan cambukan adalah makananku setiap hari. Ingin rasanya aku lari dari kekejaman ini, tapi aku mau kemana, aku tidak punya siapa-siapa. Jika yang tertulis dalam takdirku hidupku harus berakhir disini, aku akan rela menerimanya.

Hatiku sedikit lega, kekejaman yang mereka lakukan lambat laun berkurang semenjak nyonya sakit-sakitan karena termakan usia, dan kedua anak perempuanya sudah berkeluarga dan hidup sendiri-sendiri, walaupun hari-harinya dihabiskan ditempat tidur tapi umpatan yang keluar dari mulutnya masih nyaring terdengar, akupun sudah kebal mendengar semua itu. Tapi ketenanganku terusik ketika suatu malam aku merasakan ada yang menindih tubuhku, ketika aku membuka mata, seperti ada paku yang menusuk-nusuk hatiku dan palu yang meremukkan kepalaku.

“ jangan tuan, jangan” aku beruasaha melepaskan diri dari pelukan majikanku.

“ diam kau…!!! Sudah 5 tahun aku beri kau makan, anggap saja ini bonus buatku”

Sejak kejadian itu dia sering mengunjungi kamarku ketika nyonya sudah tertidur, Aku tak kuasa melawan kehendaknya, karena dia mengancam akan membunuhku bila berani buka mulut. Aku hanya bisa menangis. Perasaan pedih, tertekan, dan takut mendera jiwaku. Sungguh, hidupku serasa di dalam neraka. Aku cemas kebobrokan ini akan terbongkar. Aku bisa bayangkan, bagaimana murkanya nyonya dan kedua putrinya bila mengetahui kejadian ini.

Setelah kupikir masak-masak, akhirnya aku memutuskan lari dari rumah mereka. Dengan berbekal niat aku menjelajah sudut-sudut kota Jakarta. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya aku bingung harus kemana berhenti melahkahkan kaki. Aku tak peduli bagaimana mencari makan dan ke mana bersarang. Bumi sudah menjadi lantai, dan langit yang menjadi atap rumahku. Suatu hari aku bertemu dengan kumbang malam yang berbaik hati menampungku. Dikenalkannya aku pada kehidupan malam. Meski sadar, dunia yang kujalani ini jauh dari norma-norma susila dan agama, tapi peduli setan. Toh, hidupku sudah terlanjur kotor dan hancur. Sekalian saja aku tenggelam.

Telah banyak lelaki hilir mudik menyambangiku. Namun dari semua yang hadir itu tak ada yang seperti Mas John. Sungguh, dia lelaki istimewa. Dia bukan sekadar teman berkencan, tapi juga seperti sahabat, pacar, sekaligus belahan jiwa. Aku menemukan kecocokan dengannya. Mas John orangnya lembut, romantis, sabar, dan penyayang. Beda dengan laki-laki kebanyakan yang kasar, egois, dan temperamen. Dengan Mas John aku seperti menemukan surga dan kasih sayang yang aku impikan selama ini. Tak kupungkiri aku jatuh cinta padanya

Malam ini adalah malam yang sudah aku tunggu, karena aku akan menyatakan cintaku kepada orang yang selama 6 bulan ini mengisi hati dan pikiranku.

“ Aku mencintaimu Mas…!!”

Mas John terdiam mendengar ungkapan perasaanku.

“ Kenapa Mas??, Mas gak cinta sama saya”

“ Aku juga cinta sama kamu” ucapnya sambil memegang tanganku.

“ Trus kenapa mas gelisah, aku serius cinta sama mas, aku ingin menikah dengan Mas”

Mas John semakin erat memegang tanganku.

“ Aku cinta sama kamu, tapi kita tidak mungkin bisa bersama, apa kata orang nanti, lagi pula aku sudah punya tunangan, aku sangat sayang sama dia, dan sebentar lagi kita akan menikah, kamu tahu sendiri kan”

“ Lalu apa arti hubungan kita selama ini mas” aku melepaskan gengaman tangan Mas John.

Mas John kembali meraih tanganku dan mengenggamnya dengan erat.

“ Hubungan kita ya seperti ini saja, kita tidak bisa mengikat komitmen, aku akan menemuimu ketika aku membutuhkanmu, aku tahu kamu cinta sama mas, tapi cinta tidak harus memiliki”

Hatiku hancur, airmata tak terasa menetes di pipiku, cintaku tidak berbalas, Tiba-tiba aku dibelit rasa cemburu pada Cintya. Aku ingin seperti dirinya, agar aku bisa mengecap kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang utuh. Keinginan itu yang mendorong aku akhir-akhir ini sering mengikuti dia. Menyelidikinya. Mengamatinya dari jauh. Aku ingin tahu, dimana kekuatannya sehingga Mas John tak berani melepasnya.

Tapi semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal kutahu tentang dirinya, semakin ciut nyaliku, kerdil jiwaku. Dia begitu sempurna, Sangat sempurna. Dia wanita ideal dambaan semua pria. Cantik, anggun, pintar, seksi, berkelas, keibuan,dan sopan. Sungguh, dia memiliki segala yang diimpikan semua wanita. Bila ada yang kurang pada dirinya hanya satu, dia lalai menjaga calon suaminya.

Andai aku menjadi dia, tak kubiarkan calon suamiku kelayapan di klub malam. Tak kubiarkan dia mencari teman bersandar di luar rumah. Tak kubiarkan dia menanggung beban sendirian. Tak kubiarkan dia kehilangan arah tujuan. Karena dia tidak hanya butuh cinta dan kepercayaan, tapi juga belaian kasih sayang, perhatian, dan kelembutan. Setangguh-tangguhnya lelaki, mereka juga punya sisi lemah!.

Tapi itulah aku, tak mungkin menjadi dia. Aku tak mungkin menggantikan kedudukannya. Karena kutahu, sebuah kemustahilan melawan kodrat. Aku terlahir sebagai laki-laki, meski jiwaku perempuan. Entah, siapa yang patut disalahkan atas keadaanku ini. Tapi satu hal pasti, aku tak mungkin menggantikan kedudukannya. Tapi ingin sekali kubisikkan padanya, jagalah calon suamimu agar dia tidak lari ke pelukan manusia sepertiku.

*****

Selasa, 02 Februari 2010

Ciri-Ciri Orang 4L4Y



Hey guys, miss me???(ngarep banget). Dah lama nih gue gak posting-posting lagi, liburan mulu. Udah gitu liburannya ketemu ama alay mulu.....Yep, "Alay". Tau "alay" kan???Alay itu sama dengan Anak Layangan (lho, bisa terbang toh?). Pokonya alay tuh adalah sekelompok manusia 'Primitif' yang norak banget ama yang namanya kapital, angka, and kata-kata ribet. Want to know about alay lot more???

1 . Alay Sok Imutisaurus, Alay jenis ini suka ganti-ganti kata baku yg indah menjadi "imut" . Tapi bukannya menjadi imut , tulisan itu malah bikin bingung , bahkan membunuh pembacanya !
Contoh : makan → mumbth, sayang→ chaiiank → cayanqst
2 . Alay Kapitalisme, Alay jenis ini seneng pake huruf kapital dalam kalimat yg digunakannya . Duh , sadar ga sih ? Kita sbg pembaca jadi sakit mata . Ga bisa bedain huruf kapital ma huruf non-kapital ya ? Anak playgroup aja bisa . Nyahahahaha . . .
Contoh :- AgkuH bEndci dIa
3 . Alay CocotionRosanius, Alay yg lg dibahas ini adalah alay yg mengerahkan seluruh jiwa raganya buat jejeritan ga karuan .
Contoh :
X : waaaa ! Iya dunkz beibthz , hahahahaha . . .
Y : iaa kALi yHa bebth , hihi . Aaaa !
Ps : biasanya mereka jejeritan sambil memble + nekuk lidah (biar kayak bule kali . Tapi malah jadi kayak bule Zimbabwe)
4 . Alay Angkalicious, Ini nih salah satu tipe alay yg paling bikin sakit mata . Emang dunia ini kekurangan huruf ya , sampe² make angka buat nulis ? Kenapa ga sekalian pake aksara jawa aja biar mantep ? Wakakakakak . . .
Contoh :a9kuH La9y 53bel5 5am4 k4muH !
5 . Alay Hydrocepalus Lebaytun Melebay²kan .INI DIA RAJANYA ALAY . Paling hobby show off dan melebaykan kejadian yg dia alami . Padahal sebenernya sih biasa² aja .
Contoh :
X : kamu online dimana ?
Y : di blackberry storm agkoh t'cindtah . Kemarendt baruw dibeliindth sama daddy di Paris . Itu lho , ibukotanya Perancis . Ada pertemuand pengusaha sukses di seluruh dunia getoh .
Ps : ya ampun , beli blackberry di Mangga Dua juga banyak . Pake jauh² ke Paris segala . Lagian semua orang juga tau Paris itu ibukotanya Perancis . Sejak kapan ibukota Perancis pindah ke Bantargebang ? Nyas . . .
6 . Alay Sok Bule, Ini alay PALING SOK dunia per-alay-an . Sok pake enggris tapi kagak ada benernya . Kalo diliat artinya per kata , bener sih . Tapi waktu digandeng , beuh.. NTU KATA ARTINYA APAAN ? Wealah... Cuma translate amatir dari bahasa Indo . Sekalinya bener ternyata ? NYONTEK !
Contoh :Hi , Coro . What you know if I already are is have ? Oh ya , how you ? What you good² only ? Don't shy² cat lah .

Well kalo salah satu dari kalian ada yg kayak gitu, please cun apus lah kebiasaan itu, Jijay tauk,,,,Kwkwkwkww,,

Senin, 01 Februari 2010

SECANGKIR VANILA LATTE


Kutuang air panas di cangkir. Kopi, gula dan air bersatu, mereka menggumpal membentuk komposisi yang aneh, tapi tetap indah. Aku terus memandangi cangkir itu, sampai terdengar suara langkah di belakangku.

“May,” suara Dude, “lagi apa?”

Aku menoleh dan tersenyum.

“Bikin kopi,” jawabku pendek.

Dude melangkah mendekat dan duduk menyebelahiku. Ia menghela nafas, kemudian mengikuti pandanganku.

“Kamu mikirin apa sih?” “Nggak ada.” “Kopi itu menyimpan seseorang kan?” Aku tak segera menjawab, sampai akhirnya Dude berkata lagi, “Seraut wajah yang tersenyum…!!”

Aku menoleh.

“Dud, please. Jangan ingatkan aku padanya.”

“Tapi setiap hari membuat kopi itu, sama saja mengenang Alan kan? Apa bedanya? Semuanya sama. Puisimu, kopi itu, dan tulisan-tulisanmu. Semua hanya punya satu makna, hanya Alan. Ya kan, May?”

Aku mengangkat bahu. Dari dulu aku ingin sekali jadi gadis yang tegar, yang tidak peduli sekalipun orang jahat padaku, tak menangis meski ditinggalkan orang yang aku cintai, tak peduli meski aku disakiti, tapi ketidakpedulianku pada Alan malah bermakna beda. Aku tak peduli meski dia pergi tanpa pesan. Ia tetap orang yang aku sayangi, sampai saat ini.

***

“Wah, Enaknya…!! ini kopi apa Lan, Cappuccino ya?” tanyaku takjub, seraya terus menyeruput secangkir kopi hangat yang ada dimeja.

Alan menggeleng.

“Bukan, itu Vanilla Latte.”

“Lukisan ini Vanilla Latte juga”

“Iya:

“Masak bisa sebagus ini sih,” ujarku sambil menyentuh kanvas dengan ujung jariku.
Alan hanya tersenyum.

“Lan, ini boleh buatku nggak?” ujarku meliriknya.

Tapi Alan menggeleng.

“Nggak boleh. Ini lukisan spesial. Lukisan ini cuma buat orang yang aku sayangi.” Ia tersenyum.

Aku mencibir, kesal.

“Emang kamu nggak sayang sama aku?”

“Yeee… Nggak! Kamu kan udah tua.”

“Iiiih!!! Alan bodoh!”

Aku berlari mengejarnya mengelilingi rumah, sampai di halaman yang penuh bunga matahari. Alan tertawa. Dan aku tetap tak berhasil mengejarnya.

“Sampai kapanpun kamu nggak akan bisa ngejar aku, May!” teriaknya dari kejauhan.

“Nggak akan bisa.”

Aku tertegun.

***

“Cakep nggak, May?” tanya Dude sambil memperlihatkan foto dalam HPnya.

“Dia anak sastra lho, cocok kan sama kamu, kalian nanti bisa ngobrol banyak soal buku.”

Foto seorang cowok mirip Yoo Seung Ho. Sangat manis, benar-benar tidak seperti anak sastra kebanyakan. Aku hanya mengangkat bahuku lalu meninggalkan Dude di depan komputer.

“May.” Dude menarik lenganku, memintaku kembali.

“Aku mau bikin kopi,” jawabku sambil tersenyum masam. “Besok, jangan lagi kasih aku foto cowok.”

Dude menghela nafas kemudian mengikutiku menuju dapur.

“Biar kamu nggak nunggu Alan terus.”

“Aku merasa nyaman nunggu dia, Dud. Nyaman sekali. Dan aku bahagia.” “Bohong,” timpal Dude. “Nggak ada orang yang bahagia menunggu orang yang pergi nggak tahu kemana. Orang yang bahkan nggak sadar kalo orang yang menunggunya adalah orang yang sangat mencintainya.”

“Kapan aku pernah bilang cinta sama dia? Aku nggak pernah cinta sama Alan. Dia cuma sahabatku, Dud.”

“Kenapa sih, kamu selalu bohong?”

Dude meninggalkanku di depan jendela kamarku. Jendela di mana aku biasa menghabiskan secangkir Vanilla Latte yang pernah dilukis oleh Alan. Entah dimana lukisan itu sekarang. Tapi kalau memang lukisan itu telah ia berikan pada cewek yang paling ia cintai, aku akan berusaha merasa bahagia. Aku menoleh dan mendapati sosok Dude yang menjauh.

***

“Kamu suka Vanila Latte ya, Lan?” Alan menggaguk.

“Kenapa, Lan.”

“Vanila Latte mengingatkanku pada orang yang aku cintai”

“Siapa Lan”

“Suatu saat nanti kamu akan tahu siapa dia”

Aku mengangguk kesal. Alan adalah calon pelukis hebat, menurutku. Lukisannya benar-benar bagus dan hidup. Termasuk lukisan secangkir Vanilla Latte itu. Dan sejak pertama kali melihat lukisan itu, aku jadi sangat menyukai Vanilla Latte. Karena cuma dengan menikmati Vanilla Latte aku selalu merasa bersama dengan Alan.

“Kamu nggak kerja?”

“Sudah pulang,” jawabku. Dan aku melihat Alan menggulung lukisan Vanila Latte yang sudah lumayan lama terpajang di dinding kamarnya itu.

“Mau diapakan?” tanyaku.

“Aku berikan ke seseorang.”

“Erm, siapa sih? Memangnya kamu punya pacar?”

“Ada deeeh.”

Aku terdiam. Alan selalu membuatku terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya. Pertanyaan yang kucipta sendiri dan tak kutemukan jawabannya. Dan sehari setelah pertemuan itu, Alan menghilang.

***

“Misalnya suatu hari, Alan sms kamu, kamu gimana?”

“Memang kenapa?” tanyaku balik.

Dude menggeleng.

“Ya nggak apa-apa. Siapa tahu nanti dia balik ke kosnya.”

Sekarang aku yang menggeleng.

“Nggak mungkin. Bahkan mungkin malah, Alan udah meninggal.”

“Hush!” Dude tersentak dan mencubitku. “Jangan sembarangan ngomong.”

Aku menghela nafas.

“Habis, dia hilang nggak tahu kemana. Aku, juga teman-teman kosnya, nggak ada yang tahu Alan pindah kemana. Sudah tujuh bulan, dan sama sekali aku nggak pernah melihatnya, nggak pernah terima sms atau teleponnya, bahkan sejak ia menghilang, nomor HPnya nggak bisa dihubungi.”

“Tapi kamu nggak beneran menganggap Alan udah meninggal kan, May?”

“Nggak. Aku menganggap Alan nggak butuh aku sebagai sahabat, karena dia pergi tanpa aku tahu kemana. Dan aku menganggap dia sudah bahagia dengan cewek yang menerima lukisan Vanilla Latte itu darinya.”

Dude menatapku iba.

“Kamu patah hati, May?”

“Nggak. Alan kan cuma sahabatku. Lagian, dia masih kecil.”

“Cowok yang lebih muda darimu, belum tentu nggak boleh kamu cintai, May. Dan jangan pura-pura bahagia, jangan terus menutupi perasaanmu. Kamu suka Alan, kan?”

“Nggak!” aku setengah berteriak. “Aku nggak pernah suka Alan!”

“Lalu buat apa kamu membuat Vanilla Latte setiap hari?”

Aku menangis.

***

“Kamu nggak pergi, May?”

“Nggak. Ya, ini kan udah pergi, sama kamu.” Aku tertawa.

“Pacarmu?”

“Nggak punya.”

“Cari dong, May” Tiba-tiba suara Alan berubah.

“Kenapa? Buat apa?” tanyaku balik dengan mimik penuh tanya.

“Aku nggak mau kamu sampai nggak punya pacar gara-gara aku.” Alan menunduk.

“Apanya? Kok kamu bilang gitu, Lan? Maksudnya apa?”

“Kita kemana-mana berdua, kayak orang pacaran aja, nanti nggak ada cowok yang berani deketin kamu lho.”

“Apa nggak sebaliknya?”

“Apa?”

“Kamu yang takut nggak bisa deketin cewek?” Alan tersenyum simpul.

“Aku…!! ada orang yang aku sukai.”

Pasti bukan aku, batinku. Dan hari itu, untuk pertama kalinya aku menangis setelah pertemuan kami.

***

“Makasih lo, May,” ujar Dude sembari belalu membawa setumpuk buku.

Aku hanya menjawab dengan senyuman, sambil terus membawakan baju-bajunya keluar. Hari ini Dude pindah. Aku tidak tahu alasannya karena dia tidak mengatakannya padaku. Yang jelas, aku merasa sangat kehilangan teman yang sudah menemaniku selama lima belas bulan.

“Kamu masih akan nengok aku kan, Dud?” tanyaku lagi saat kami berpapasan di depan pintu kosnya.

Dude tersenyum.

“Kenapa? Takut nggak punya teman minum Vanilla Latte?”

“Nggak ada lagi yang menguatkan dan meyakinkanku kalo Alan udah pergi.”

Sebuah buku jatuh dari tangan Dude yang tampak gemetar.

“Kamu pasti baik-baik saja, May. Kamu cewek yang tegar, lebih tegar dari siapapun yang aku kenal.”

Ah, ada yang aneh di mata itu. Sesuatu yang aku tak bisa menebaknya.

Kemudian Dude berlalu dari hadapanku dengan setumpuk buku lagi. Aku menghela nafas dan kembali membongkar lemarinya. Dan sebuah benda berupa dua gulungan kertas menghentikan gerakanku. Sebuah kekuatan aneh menggerakkan tanganku membuka gulungan itu. Sebuah lukisan yang sangat kukenal.

***

“Itu Vanilla Latte juga ya, Lan?”

“Yup.”

“Kok cuma setengah?”

Alan menghentikan goresannya di kanvas, menatapku.

“Kamu pernah ditinggalkan orang yang kamu cintai, May?”

“Hemmm…!!, iya.” Aku hanya menjawab bingung. Terus menatap lukisan setengah jadi itu. Lukisan secangkir Vanilla Latte yang tak terisi penuh.

“Dan kamu merasa, nggak ada yang bisa menggantikan orang itu, meski kamu tahu ada orang lain yang mencintaimu?”

“Ckck…! Kamu ngomong apa sih, Lan?”

“Kadang, kamu terlalu lama melihat dan menyesali cinta yang sudah meninggalkanmu, hingga kamu nggak bisa melihat cinta lain yang ada.”

Aku menggeleng.

“Lalu apa hubungannya dengan Setengah Vanilla Latte itu?”

“May, kamu bisa mencintai orang baru yang datang padamu, tapi nggak sebanyak cintamu pada orang yang sudah meninggalkanmu.”

Aku tahu maksudnya.

Aku tahu. Tapi aku tak tahu, siapa dua orang yang ia maksud itu. Aku terlalu takut menebaknya.

***

Dude datang tepat di saat aku menggulung kembali lukisan itu.

“Maafkan aku,” desisnya hampir menangis.

“Apa ini Dud,” jawabku, dengan senyum paksa.

“Kamu ingin aku menjelaskannya?”

“Iya Dud, please aku bingung dengan semua ini.”

“Alan adalah orang yang spesial, May. Tujuh bulan yang lalu, Alan bilang kalau dia mencintaiku. Dia memberikan sebuah lukisan Vanilla Latte kesukaanku sebagai tanda cintanya padaku”.

“Tapi kamu pernah bilang, kamu gak suka Vanilla Latte, Dud”

“Aku bohong May, Aku takut kamu akan tahu semuanya. Kamu tahu, aku dan Alan nggak mungkin bersatu. Aku laki-laki normal May, aku punya tunangan. Kalau aku nggak segera mengakhirinya, akan ada yang lebih terluka.”

“Kenapa kamu nggak pernah cerita, Dud? Kamu tahu gimana perasaanku sama Alan?” Aku menangis.

“Aku gak sanggup melihat kamu sedih May, Dengan kenyataan jika Alan adalah seorang….!!” Dude tak melanjutkan kata-katanya.

“Tapi sekarang hatiku tambah hancur, Dud” Aku menunduk dan mendapati airmataku menetes di lantai.

Kemudian Dude menarik tanganku dan menyerahkan sebuah lukisan yang tergulung itu.

“Maafin aku, May. Tujuh bulan lalu saat Alan pergi, dia memberikan lukisan kepadaku, sekaligus menitipkan satu lukisan ini untukmu. Aku nggak sanggup memberikannya padamu, karena takut kamu akan tahu rahasia Alan. Tapi sekarang, apapun yang terjadi, aku akan menerimanya. Termasuk kalau kamu jadi membenciku.” May menyusut airmatanya.

“Alan pergi karena nggak terima dengan penolakanku, dan juga menatap matamu yang diam-diam mencintainya. Dia mengatakan itu sebelum pergi.”

Dude meninggalkanku sebelum aku berkata apapun. Dadaku sakit. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju dapur, dan membuat secangkir Vanilla Latte. Kubuka gulungan lukisan pemberian Alan dengan senyum yang terpaksa. Di sana, kulihat secangkir Vanilla Latte yang tak terisi penuh. Sangat indah. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.

“Sampai kapanpun kamu nggak akan bisa ngejar aku, May!” teriak Alan dari kejauhan. “Nggak akan bisa.”

***