 
 Tetapi  lain  halnya  dengan  Pak  Abdullah.  Disaat  orang-orang  sedang  Menyibukkan    diri  dengan  urusannya  masing-masing,  beliau  tampak  khusyuk  berdzikir  diatas  sajadah  merah  yang  menghampar  diatas  lantai  ruangan  berukuran  4  x  4  m  didalam  rumahnya.  Teringat  olehnya  hari-hari  dimana  dia  merasakan  sebuah  karunia yang begitu besar,  yang  oleh  kebanyakan  orang  dijadikan  hal  yang  sangat  menakutkan,  yaitu  puasa  dan  menahan  lapar, tetapi buat pak Abdullah hal itu hanyalah salah satu dari rukun islam yang harus dijalankan dengan sabar dan hati yang iklash. 
Jauh dari orang tua membuatku harus bisa hidup mandiri, harus bisa menata pengeluaran dengan baik dan harus bisa beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalku. Kali kedua merayakan hari raya dirantauan membuatku sudah terbiasa, banyak teman sering bertanya, apa aku tidak ingin pulang, apa aku tidak kangen sama keluarga, dan berbagai pertanyaan selalu ada ketika menjelang hari raya idul fitri. Semua orang pasti ingin merayakan hari raya bersama keluarga, begitu pula denganku, tapi ongkos mudik ke Propinsi yang dijuluki serambi mekkah itu tidaklah murah, kasian orangtuaku jika harus mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk aku mudik, sedangkan biaya kuliah di Malang juga tidaklah murah ditambah dengan biaya kehidupan seharai-hari yang tidak sedikit. Pak Abdullahlah tempatku bernaung ketika semua teman kosku mudik dan tinggal aku sendiri yang tersisa. Pak Abdullah sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri, beliau sering memberi nasihat dan wejangan kepadaku.
Pernah  suatu  malam setelah sholat terawih  aku bersilahturahmi  kerumah  beliau.  Seperti  biasa  dengan  ditemani  kopi  hangat  dan  ketela goreng  kami  mengobrol, membahas  tentang  hal-hal  yang  sudah  aku alami  sehari-hari.  “Sangat disayangkan budaya  umat  sekarang”, Pak Abdullah memulai percakapan.  Bukankah  dimimbar-mimbar  sering  diungkapkan  kalau  berpuasa  itu  menahan  hawa  nafsu, dimana  kita  harus  mengendalikan  diri  kita  untuk  tidak  makan,  minum  dan  melakukan  hal-hal  yang  dapat  membatalkan  puasa  kita.  Tetapi  mengapa  disaat  waktu  berbuka  puasa  tiba,  semuanya  dengan  penuh  gairah  menyiapkan  makanan,  minuman,  kolak,  sirup  dan  lain-lainnya  untuk  disantap  begitu  adzan  maghrib  berkumandang.  Padahal  semua  itu belum  tentu  bisa  masuk  ke  perut  kita.  Dan  kalau  sudah  begini dimana  makna  dari  menahan  hawa  nafsu.
Aku  mendengarkan  dengan  seksama  semua yang  diucapkan  Pak  Abdullah.  Kata-katanya  begitu  mengena  kedalam  hati  dan  pikiranku.  Selama  ini  memang  ketika  berbuka  puasa  aku  selalu  menyiapkan  makan  besar  seolah-olah  aku  sedang  membalas  dendam  pada  makanan  setelah  seharian  tidak  makan  dan  minum  sedikitpun.  Tak  jarang  juga  kalau  setelah  itu  perutku  akan  terasa  sakit  sekali  sampai  tidak  bisa  bergerak  karena  kekenyangan. Aku sedih, ternyata aku belum berhasil memaknai arti dari puasa Ramadhan yang sesungguhnya, yang tidak hanya menahan makan dan minum. Ya Allah jangan jadikan Ramadhan ini adalah ramadhan terakhir untukku, agar aku bisa memberbaiki semua kekuranganku.
***
Menjelang  maghrib  dihari  terakhir  puasa  ramadhan  tahun  ini  aku  kembali  bersilaturahmi  ke  rumah  Pak  Abdullah. Tidak lupa aku bawa ketela goreng kesukaan beliau, Kebetulan  hari  itu  istri  beliau  sedang  ada  di  luar rumah, 
“Assalamualaikum” aku mengucap salam.
“Wassalamualaikum” eh nak Zaenal, monggo nak masuk.
Aku masuk kedalam rumah Pak Abdullah, rumah yang sederhana tapi sangat menyejukkan hati, setelah aku duduk  beliau  langsung  menuju  ke  tempat  suaminya  yang  sedang  berdzikir  untuk  memberitahukan  kedatanganku.  Setelah  menunggunya  beberapa  lama  akhirnya  Pak Abdullah  muncul  juga  dari  balik  gorden  yang  menutupi  antara  ruang  tamu  dengan  ruang  tengah.
Tak  lupa  kuucapkan  Assalamualaikum  dan  “sungkem”  padanya  seperti  aku  sungkem  pada  kedua  orang  tuaku,  karena  dalam  hatiku  aku  sudah  menganggap  orang  tua  ini  sebagai  orang  tuaku  sendiri.  Dia  membalas  salamku  sambil  tersenyum.  Memang  Pak Abdullah  begitu  berwibawa  diantara  tutur  kata  dan  perilakunya  yang  sholeh.  Sayup-sayup  adzan  maghrib  sudah  terdengar  dikejauhan.  Tanda  kalau  hari  ini  kita  sudah  mencapai  hari  yang  penuh  kemenangan,  hari  yang  penuh  kebahagiaan,  hari  yang  tak  akan  pernah  kita  dapat  rasakan  selain  hari  ini.  Allahu akbar…! Allahu akbar…! Allahu akbar…!  Allahu akbar…!  Walillah ilham…!.
Setelah berbuka puasa dan sholat magrib, malam itu aku dan Pak Abdullah betakbir bersama, tak terasa air mata menetes di pipiku, teringat Bapak dan Ibu di rumah, ingin rasanya aku memeluk mereka dan meminta maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Sebagai orang tua apa yang diharapkan kecuali kesuksesan anaknya, dan itu belum bisa aku wujudkan. Aku kembali menata perasaanku, menguatkan hatiku, aku tidak boleh lemah, aku yakin suatu saat nanti senyum bangga mereka akan menghiasi kepulanganku.
“nak Zaenal..!” suara pak Abdullah membuyarkan lamunanku, 
“iya Pak..!!” aku langsung menuju keruangan 4  x  4  m  yang bisa digunakan beliau beribadah, entah kenapa ada yang lain dengan pak Abdullah malam itu, wajahnya begitu bersih dan bercahaya.
“nak Zaenal, gimana kuliahnya?”
“Alhamdulillah lancar”
Anakku, semoga Allah SWT memberi umur panjang kepadamu untuk taat kepada-Nya dan membimbingmu ke jalan orang-orang yang dicintaiNya. Jangan kau menyia-nyiakan waktu dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Apabila umur seseorang berlalu tetapi ia tidak menggunakanya untuk melakukan ibadah yang diperintahkan Allah, maka pantas baginya menyesal sepanjang masa. Aku hanya terdiam mendengar perkataan dari beliau, ada gejolak yang sangat besar di dadaku, teringat semua perbuatan yang aku lakukan masih jauh dari yang namanya memanfaatkan waktu dengan baik.
“nak Zaenal..!!” Pak Abdullah memegang tanganku dengan erat.
Bapak berdoa semoga setiap perkataan, perbuatan, dan apa saja yang kamu tinggalkan sesuai dengan hukum syara’. Ingat Jalan ibadah hanya dapat ditempuh dengan mendidik kehendak nafsu dan berjihad mengalahkan nafsu syahwat yang tak terkendali. Ini dapat kau lakukan hanya dengan riyadhah (shaum) dan ketajaman pedang pendidikan, bukan dengan tutur kata yang manis dan ajakan yang menarik perhatian. Ketahuilah anakku, lidah yang berucap dan hati yang tertutup oleh kelalaian dan nafsu yang rendah merupakan tanda-tanda kemalangan yang besar. Jika nafsu tidak kamu tundukkan dengan kesungguhan jihad, maka hatimu tidak akan bercahaya ma’rifat kepada Allah Swt. Aku menangis mendengar nasihat dari pak Abdullah, aku memeluk beliau dengan erat,  aku merasa akan kehilangan beliau untuk waktu yang sangat lama.
Aku berjalan pulang dengan perasaan yang sangat bergejolak, masih teringat jelas kata-kata dari pak Abdullah yang begitu merasuk ke dalam dada, hari ini adalah hari dimana seluruh umat muslim di dunia merayakan hari kemenangan, tapi apa aku pantas untuk merayakan itu, kemenangan dari apa yang harus aku rayakan, amal ibadahku masih pas-pasan, aku juga belum bisa menahan hawa nafsuku sendiri. Ya Allah Pantaskah aku turut bersuka cita menyambut datangnya hari kemenangan ini.
***
Suara takbir menggema di seluruh masjid-masjid memanggil seluruh umat muslim untuk berkumpul. Aku pakai gamis putih dan peci dengan warna senada, tidak lupa minyak wangi aku semprotkan ke tubuhku. Aku tidak langsung menuju ke masjid, tapi mampir terlebih dahulu ke rumah pak Abdullah untuk menjemput beliau, aku berjalan dengan cepat tidak sabar ingin bertemu dengan Pak Abdullah. Sampai juga aku di depan rumah sederhana tapi begitu menyejukkan hati itu, aku bertanya pada diriku sendiri, ada apa gerangan rumah yang kecil dan biasanya sepi itu kini begitu ramai, aku melihat Bu Abdullah menangis di dalam rumah. Ya Allah aku tidak berani menebak apa yang terjadi di dalam rumah itu. Aku tak kuasa melangkahkan kakiku, aku belum siap menyaksikan apa yang terjadi di sana, tiba-tiba dadaku begitu sesak.
Aku terpaku tak berdaya, tulang-tulangku terasa lemas, hatiku perih, dan air mata tak kuasa aku bendung. Mataku tak kuasa melihat tubuh pak Abdullah yang terbujur kaku dan terbalut kain berwarna putih itu, matanya terpejam dan tubuhnya tidak bergerak lagi. 
“Apa yang terjadi Bu?”
“Abah nak, Abah telah tiada” Bu Abdullah juga tak kuasa membendung air matanya.
Ya Allah kenapa begitu cepat engkau panggil Pak Abdullah, orang yang menjadi tempatku berkasih sayang, orang yang selalu memberi nasihat dan selalu menguatkantku ketika aku sedang down. Ya Allah, memang hanya engkau yang tahu umur hambamu, Ya Allah jadikankah Pak Abdullah sebagai kekasihmu dan masukkanlah beliau ke dalam surgamu.
Allahu akbar…! Allahu akbar…! Allahu akbar…!  Allahu akbar…!  Walillah ilham…! Suara takbir mengantarkan kepergian Pak Abdullah. Mungkin inilah kemenagan yang sejati, kemenangan yang tidak hanya di ukur dengan baju baru, dan kue-kue mewah. Tapi kemengan dimana ketika kita bisa bersanding dengan dzat yang maha pemurah lagi maha penyayang yakni ALLAH SWT.
***
 
 
